KEMAMPUAN PUBLIC SPEAKING TRAINING SAMANERA & ATTHASILANI PADEPOKAN DHAMMADIPA ARAMA BATU
Public Speaking
is a technique
of speaking in public to a group of people in
a structured that aims to inform and influence the audience who is listening. The purpose of this study was: 1) to know the implementation of Public Speaking Training on Samanera &
Atthasilani in The Padepokan Dhammadipa Arama Batu, 2) to know the impact of Public Speaking
Training on Samanera &
Atthasilani in The Padepokan Dhammadipa Arama Batu hermitage.
This research
is a data analysis study using
the version of Miles and Huberman
which states that the activities in qualitative data analysis are conducted
interactively and take place continuously until complete so the data is saturated. The sample used was ten
respondents consisting of five Samanera and five Atthasilani
in The Padepokan Dhammadipa Arama Batu. The sample in this study was conducted by interview,
observation, documentation and discussion class forums.
The results of the study show that (1) Public Speaking Ability Samanera and Atthasilani Padepokan Dhammadipa Arama Batu. The conclusion is that Public Speaking skills of Samanera and Atthasilani Padepokan Dhammadipa Arama
batu are still low and not in accordance with the 3T method (organized, structured and measurable) of preaching. (2) Ineffective preaching
schedule factors for the population of Samanera and Atthasilani in The Padepokan
Dhamadipa Arama Batu, and lack of
awareness for importace to the role of Samanera
and Atthasilani in participating
in a Public Speaking Training program that is not gradual.
Salah satu runitinitas para Samanera dan Atthasilani di Padepokan Dhammadipa Arama Batu adalah melakukan
khotbah (Dhammadesana) secara bergilir yang telah diatur oleh kelurahan
Padepokan Dhammadipa Arama Batu. Khotbah yang dilakukan merupakan
bagian dari training (pelatihan) yang terlaksana di
Padepokan Dhammadipa Arama Batu. Training
ini dilakukan karena melihat
secara nyata adanya kelemahan dalam public
speaking Samanera dan Atthasilani , sehingga training sangatlah dibutuhkan. Kami para
bhikkhu dapat disebut sebagai trainer (pelatih) yang selalu mendampingi pada saat para Samanera dan Atthasilani melakukan khotbah, setelah usai para trainer melakukan forum kelas diskusi sebagai
evaluasi terkait public
speaking.
Training secara
resmi dilakukan dengan bekerjasama pada lembaga IPSA (Indonesian Professional
Speakers Assosation), terkait hal itupula para trainer saat ini di Padepokan Dhammadipa Arama
batu berjumlah empat orang bhikkhu yang dimana kesemuanya itu adalah
anggota IPSA. Public speaking training telah penulis lakukan kepada para Samanera dan Atthasilani sejak 2018 sampai saat ini sebanyak dua kali pelatihan dengan melakukan pembagian kelas
sesuai angkatan senioritas di Padepokan Dhammadipa Arama Batu.
Pelatihan dilakukan untuk gelombang
pertama pada tanggal
02 April sampai dengan 13 April 2018. Training diadakan kembali untuk
gelombang kedua pada tanggal 01
Februari sampai dengan 03 Februari 2019. Pada kegiatan ini dihadiri peserta mencapai dua puluh orang
dengan durasi khotbah masing-masing peserta
tujuh menit dengan konsep dan 10 kriteria penilaian. Tolak ukur dan harapan peserta dalam berkhotbah dengan
menggunakan landasan 3T (teratur, terstruktur, terukur)
agar lulus dalam penilaian. Adapun peserta yang lulus tidaklah terlalu banyak, sehingga penulis
berasumsi training harus diadakan
lebih intensif dan kontiniu agar harapan dan tujuan tercapai.
Menjadi
pembicara, pengkhotbah (Dhammaduta) tidaklah
mudah, terkadang ada seorang
pembicara lahir dari sebuah talenta, adapula pembicara yang mengikuti sebuah pelatihan. Menurut Oh Su Hyang (2019)
seorang Dosen dan Pakar Komunikasi
Terkenal di Korea Selatan dalam bukunya “Bicara
itu ada seninya, sebagai
rahasia komunikasi yang efektif” dijelaskan bahwa kesan pertama dalam berkomunikasi itu amatlah
penting. Tentu dari kedua ini akan tampak perbedaannya. Terkait
hal inipula ada banyak orang yang sangat menguasai teori Dhamma (ajaran) (atau bahkan ajaran dalam praktik)
namun kurang mampu dalam
penyampaiannya, sehingga dalam kenyataannya umat-umat ada yang ribut sendiri, tertidur
ataupun bahkan berharap
semoga khotbahnya segera selesai, pada saat seorang
pengkhotbah buddhis sedang menyampaikan Dhammadesana (Khotbah Ajaran) hal
tersebut sering terjadi. (Hanggoro:
2019): Hal ini menunjukkan adanya
kelemahan berbicara dalam berkhotbah bagi seorang buddhis Pembabaran Dhamma (Ajaran)
dianggap sangatlah penting karena apa yang
disampaikan merupakan nasehat baik dari Buddha. Terkait hal ini dalam Dhammapada (Syair-syair Buddhis) Tanha Vagga, syair
354 sebagai berikut:
“Sabbadanam Dhammadanam jinati sabbarasam Dhammaraso jinati sabbaratim Dhammarati jinati tanhakkhayo sabbadukkham jinati.
Artinya:
Karunia Dhamma (ajaran) mengungguli semua
hadiah; rasa Dhamma mengungguli semua selera; kegembiraan
dalam Dhamma unggul dari semua kesenangan. Pemberantasan Nafsu
keinginan, yaitu, pencapaian arahat (makhluk suci tertinggi) mengalahkan
semua penyakit batin (samsara dukkha).”
Pembicara yang handal pun dalam agama
Buddha sangat diperlukan. Hal ini
menghindari dari khotbah yang melantur yang diragukan kebenaran isinya, apakah merujuk pada Ajaran Buddha Gotama
seperti tertuang dalam Kitab Suci agama Buddha Tipitaka atau hanya pendapat pribadi
(Jayamedho, 2012:25). Tidak dipungkiri dalam pengkhotbah buddhis
terutama para Samanera mengalami kendala dalam berkomunikasi di depan
publik (khalayak ramai). Terkait hal itu Public Speaking Training
sangat diperlukan bagi para
pengkhotbah buddhis.
Tugas seorang pengkhotbah (Dhammaduta) dalam menunaikan tugasnya untuk mempertahankan umat Buddha erat kaitannya dengan bagaimana kualitas seorang pengkhotbah guna melaksanakan tugas mereka. Terkait hal ini, Buddha menjelaskan pentingnya berkhotbah dalam kitab suci Tipitaka bagian Udāyī Sutta; Anguttara Nikaya 5.159 berisi tentang bagaimana cara berkotbah yang sesuai dan mampu diterima oleh para pendengarnya. Pelatihan berkomunikasi yang digunakan dengan metode komunikasi yang baik mampu meningkatkan kualitas berkhotbah seorang pengkhotbah yang baik pula. Terbukti bahwa para pengkhotbah dizaman Buddha membabarkan Dhamma (ajaran) dengan menggunakan metode ini dengan jumlah pengkhotbah yang sedikit mampu menyebarluaskan ajaran hingga bertahan sampai sekarang ini.
Seorang
pengkhotbah sungguh mengemban
tugas berat dalam hal menangani berbagai permasalahan umat
Buddha secara kompleks. Meningkatkan kualitas
berkhotbah merupakan salah satu upaya untuk menangani permasalahan yang terjadi. Kualitas berkhotbah seorang
pengkotbah diharapkan umat Buddha akan
lebih terbina secara berkelanjutan. Melihat jumlah anggota pengkhotbah yang sangat sedikit dibandingkan umat Buddha itu sendiri, maka
disinilah peran seorang pengkhotbah
sangat dibutuhkan. Terkait dengan pengkotbah juga menjadi peran yang penting, (Jayamedho, 2012:
01) juga menyatakan bahwa pengkhotbah (Dhammaduta) memiliki tugas untuk menyebarkan Dhamma kepada umat manusia agar
mereka berbahagia. Kecakapan sangat diperlukan dan memegang peranan penting bagi seorang pengkhotbah,
sebab akan cepat mengetahui latar belakang
para pendengarnya agar uraian yang disampaikan dapat diterima oleh pendengar. Oleh karena itu ia perlu memperhatikan cara-cara dalam membabar dan menerangkan Dhamma.
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat terlepas dari tindakan awal yaitu tindakan sosial, seperti berbagi pengalaman, mengutarakan perasaan, maka untuk menghubungkan sesama anggota masyarakat maka diperlukan komunikasi. Bahasa sangatlah vital dalam hidup manusia. Bahasa memiliki delapan prinsip yang perlu dipahami dengan jelas, yaitu bahasa adalah suatu sistem,vokal,simbol, khas, kebiasaan, alat, budaya lokal (Anderson, 1972). Prinsip ini dapat dibangun dengan Public Speaking Training.
Public Speaking Training dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja oleh siapa saja, tentu mereka yang melihat komunikasi itu amatlah penting. Terkait Public Speaking Training terdapat suatu lembaga resmi yang telah mewadahi bagi para pembicara agar dapat tersertifikasi sebagai pembicara yang profesional, yaitu lembaga IPSA (Indonesian Profesional Speakers Association) yang telah terdaftar Ditjen HAKI dan Kementrian Hukum Republik Indonesia. Lulusan IPSA merupakan member (anggota) yang telah terdaftar dan berhak menyadang gelar CPS® (Certified Public Speaker-Registered) juga diberi hak untuk melakukan segala kegiatan komunikasi, salah satunya dapat melakukan pelatihan kepada siapapun yang membutuhkan, terkait public speaking.
Berbicara merupakan seni dan ilmu, sehingga
wilayah berbicara pada umumnya
dibagi menjadi dua, yaitu berbicara secara fungsional, seperti berbicara di muka umum. Sedangkan berbicara
berdasarkan pengetahuan adalah mekanisme bicara
dan mendengar. Berikut ini adalah pendapat Mulgrave (1954:ix) tentang konsep
dasar yang mendasari pendidikan berbicara:
“(1) Hal-hal yang berkenaan dengan
hakekat atau sifat dasar ujaran; (2)
hal-hal yang menyatakan proses-proses intelektual yang diperlukan untuk mengembangkan kemapuan berbicara dengan baik; (3) hal-hal yang memudahkan seseorang
untuk mencapai keterampilan-keterampilan berbicara.
Public speaking merupakan suatu kegiatan yang bertujuan memberikan sebuah informasi, mempengaruhi bahkan menghibur para audiens. Begitu juga dengan kegiatan dakwah yang mana kegiatan ini dilakukan seorang dai untuk mengajak kebaikan dan menghindari hal yang buruk kepada mad’u (Asiyah, Siti: 2017).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan telah diketahui peran Public Speaking traning terhadap kemampuan Public Speaking Samanera dan Atthasilani Padepokan Dhammadipa Arama Batu yang menyangkut beberapa faktor yaitu: Dalam proses berkhotbah pastinya Samanera dan Atthasilani mengalami kendala dan perlu mempersiapkannya dengan matang salah satunya mengikuti pelatihan (training). Public Speaking traning yang digunakan para trainer terhadap Samanera dan Atthasilani Padepokan Dhammadipa Araman Batu mengacu pada metode 3T (teratur, terstruktur dan terukur). Berdasarkan hasil dari wawancara dengan Bhikkhu Khantidharo Mahathera selaku Kepala Padepokan Dhammadipa Arama Batu mengatakan bahwa:
“Perlu ditingkatkan, karena semua mahasiswa selalu berganti dengan datangnya peserta yang baru. Perhatian terhadap Public Speaking saya rasa perlu diadakan secara terus-menerus. Tugas utama mereka adalah memberikan penerangan terhadap masyarakat. Sesuai pedomannya, kalau tidak mereka akan berceramah tidak teratur, terstruktur, terukur (ngalor-ngidul) dalam bahasa Jawa.
Dari hasil informasi
yang peneliti peroleh upaya meningkatkan Public
Speaking Samanera dan Atthasilani di
Padepokan Dhammadipa Arama Batu
memerlukan pelatihan (training)
secara bertahap. Selain itu minat untuk para peserta juga harus ditingkatkan.
Dari hasil observasi peneliti, rendahnya Public Speaking Samanera dan Atthasilani di Padepokan Dhammadipa Arama Batu adanya jadwal khotbah yang tidak efektif dengan jumlah Samanera dan Atthasilani di Padepokan
Dhammadipa Arama Batu. Selain itu adanya Public
Speaking Training yang
tidak dilakukan secara tahap berkelanjutan.
Dari hasil wawancara
dengan kepala Padepokan
Dhammadipa Arama Batu mengenai
masalah rendahnya Public Speaking
Samanera dan Atthasilani di Padepokan Dhammadipa Arama Batu perlu adanya upaya
Public
Speaking Training yang bersifat kontiniu sangat dibutuhkan dalam membangun keterampilan Samanera dan Atthasilani di Padepokan Dhammadipa
Arama Batu dalam berkhotbah. Hal demikian merupakan upaya dalam mengatasi
rendahnya Public Speaking mereka. Setiap pelatihan memerlukan hasil penilaian yang nantinya menjadi
evaluasi bersama untuk
kemajuan bersama.
Baik tidaknya hasil dari pelatihan
ataupun khotbah yang diadakan dalam
lingkungan padepokan dhammadipa arama batu dapat diperbaiki dalam forum kelas diskusi yang dilakukan
setelah acara khotbah diakhiri. Selama
proses pembelajaran berkhotbah (training),
kegiatan interaksi yang edukatif
antara pembicara dengan audiens dengan menggunakan
model berkhotbah/ berceramah akan
menghantarkan Samanera dan Atthasilani
menjadi lebih terlatih, berani, dan menguasai panggung disaat
berkhotbah dengan landasan metode 3T (teratur, terstrukrut, dan terukur).
Pelatihan (training) pada dasarnya meliputi membuatan konsep, memperesentasikan, mengolah vokal, grooming dan total image. Hal ini harus diperhatikan sebagai seorang public speaker yang berprofesionalitas tinggi dan menarik perhatian audiens. Sehingga khotbah yang disampaikan enak dan bermanfaat bagi umat yang mendengarkannya.
1. Pengunaan metode 3T (teratur,
terstruktur, dan terukur)
dalam berkhotbah
Metode
merupakan cara yang digunakan untuk mengimplementasikan
rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata (dalam proses berkhotbah) agar tujuan yang telah tersusun
tercapai secara optimal. Sehingga trainer harus dapat memilih dan memilah
metode yang tepat dan sesuai yaitu
menggunakan metode 3T. Selain itu juga, trainer harus
dapat memperhatikan keadaan
dan kondisi Samanera dan
Atthasilani pada waktu berkhotbah.
Berdasarkan hasil penelitian kualitatif dengan teknik observasi, wawancara, dokumentasi, dan forum kelas diskusi yang
dilaksanakan di Padepokan Dhammadipa Arama Batu tentang
Kemampuan Public Speaking Training
Samanera dan Atthasilani Padepokan Dhammadipa Arama Batu dapat diambil
beberapa kesimpulan. Kesimpulan tersebut dipaparkan sebagai berikut:
1. Sesuai
dengan data yang diperoleh oleh peneliti, Kemampuan Public Speaking Training
Samanera dan Atthasilani Padepokan
Dhammadipa Arama Batu, kesimpulannya adalah bahwa kemampuan
Public Speaking training Samanera dan atthasilani padepokan dhammadipa
arama batu masih rendah dan tidak sesuai dengan metode 3T (teratur, terstruktur, dan terukur) dalam
berkhotbah.
2. Beberapa faktor penghambat dalam kemampuan Public Speaking
training Samanera dan atthasilani
padepokan dhammadipa arama batu adalah faktor jadwal khotbah
yang tidak efektif
terhadap jumlah populasi Samanera dan atthasilani di
Padepokan Dhammadipa Arama Batu, kurangnya
kesadaran terhadap pentingnya peran seorang Samanera
dan atthasilani dalam mengikuti Public Speaking Training, program Public Speaking
Training yang tidak bertahap.
Agusta, Leonando dan Sutanto, Eddy Madiono. 2013. Pengaruh Pelatihan dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan
CV. Haragon Surabaya. Junal Vol 1, No. 3, 2013.
Arikunto. 2010.
Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta Carlson, N.R. 1994. Phsycology Of Behavior. USA: Alyn and Bacon.
Anderson, Paul S. 1972. Languange Skills in Elementary Education. New York: Macmillan
Publishing Co, Inc.
Asiyah, Siti. 2017: Public Speaking dan Konstribusinya Terhadap Kompetensi Dai.
Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 37, No.2. ISSN 1693-8054.
Bodhi, Nyanaponika. 2003. Petikan Aṅguttara Nikāya. Klaten: Vihāra Bodhivaṁsa, Wisma Dhammaguṇa.
Brooks, Nelson. 1964. Language and Language Learning. New York: Harcourt Brace & World, Inc.
Chuang, Rueyling dan Guo-Ming Chen. 2003. Buddhist Perspectives and Human Communication. Intercultural
Communication Studies XII-4 2003, Asian Approaches to Human
Communication.
Dhammadhiro (Ed). 2008. Pustaka Panduan Samanera
. Jakarta: Sangha Theravada
Indonesia.
Gibson, James, J.M Ivancevic and J.H Donnely (1996). Organisasi,
Perilaku, Struktur, Proses.
Edisi kedelapan Jilid I. Terjemahan Nunuk Adiarni. Binarupa Aksara. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar