Mahfudzdianto1; Herman2
1,2Mahasiswa Doktoral,
Program Studi Doktoral
Ilmu Manajemen, Fakultas
Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Negeri Malang
1Program Studi Manajemen, Universitas Hasym As’ari Jombang
Abstrak
Sebagian
besar mahasiswa STAB Kertarajasa menunjukkan tingkat
motivasi dan kepercayaan diri
yang dibutuhkan, namun mereka masih berusaha untuk meningkatkannya. Sejarah
geografis, sosial, ekonomi, dan budaya mereka membuat mereka kurang dapat beradaptasi dengan orang-orang
dari asal sosial ekonomi, regional, dan budaya yang berbeda. Oleh karena
itu, pendidikan komunikasi publik sangat
penting untuk mengembangkan kepercayaan diri masyarakat serta untuk menyebarkan atau mempromosikan agama Buddha. Berbicara di depan umum, juga dikenal sebagai komunikasi publik, adalah gaya berbicara kepada orang banyak dengan maksud menginformasikan dan mempengaruhi masyarakat umum. Menemukan contoh pengumuman
publik dan mengimplementasikan instruksi
public speaking di Samanera dan Atthasilani di Padepokan Dhammadipa Arama
Batu merupakan tujuan dari penelitian ini. Penilaian efek adalah tujuan kedua.
Kata kunci: Public speaking training, Samanera, Atthasilani.Buddhis, Pembicara publik
A. Pendahuluan
Mahasiswa STAB Kertarajasa seringkali memiliki jati diri yang diinginkan. Jika setiap orang dalam masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang, termasuk mengembangkan agama sesuai dengan ketentuan konstitusi yang menghormati kebebasan beragama, maka keadilan sosial dapat tercapai. Pembabaran Dhamma, atau memberikan ceramah untuk menjelaskan ajaran Buddha, merupakan salah satu strategi untuk mengembangkan agama Buddha. Khotbah Dhamma dipuja karena menyebarluaskan nasihat bijak Sang Buddha. Sehubungan dengan hal
tersebut, berikut adalah pemaparan syair 354 (dalam Jayamedho 2012) dari Tanha Vagga dari Dhammapada:
“Karunia Dhamma (ajaran) mengungguli semua hadiah; rasa Dhamma mengungguli semua selera; kegembiraan
dalam Dhamma unggul dari semua kesenangan. Pemberantasan Nafsu keinginan,
yaitu, pencapaian arahat
(makhluk suci tertinggi) mengalahkan semua penyakit batin
(samsara dukkha).
Pembicara yang baik diperlukan untuk mengkomunikasikan ajaran Buddha yang luar biasa. Sebagai pembicara perlu memperhatikan agar ceramah sesuai ajaran dan tidak diragukan kebenarannya, perlu dipastikan isi ceramah sudah sesuai yang dibabarkan Sang Buddha sebagaimana tercatat dalam kitab suci Buddhis Tipitaka atau hanya merupakan opini pribadi (Jayamedho 2012, 25). Namun, terbukti bahwa beberapa pengkhotbah agama Buddha, terutama pendatang, masih kesulitan berbicara di depan khalayak. Sehubungan dengan itu, para da’i Buddhis pasti membutuhkan pelatihan public speaking.
Pembicara yang baik diperlukan untuk mengkomunikasikan ajaran Buddha yang luar biasa. Ini mencegah khotbah yang bertele-tele Menurut Jayamedho (2012:1), adalah tanggung jawab pengkhotbah (Dhammaduta) untuk menyebarkan Dhamma kepada semua orang untuk membuat mereka bahagia. Mengingat jumlah pengkhotbah yang sangat kecil dibandingkan dengan jumlah umat Buddha, seorang pengkhotbah memiliki beban yang signifikan dalam menghadapi berbagai tantangan rumit yang dihadapi umat Buddha. Salah satu cara untuk mengatasi masalah yang muncul adalah dengan meningkatkan kualitas dakwah di beberapa bidang. Hal ini dimaksudkan agar umat Buddha menjadi lebih berkembang dalam jangka panjang dengan bantuan khotbah-khotbah yang baik. Bagi seorang pengkhotbah, kemahiran sangat penting dan memainkan peran penting. Dengan bakat ini, dia bisa bergerak dengan cepat.
Komunikator yang cakap diperlukan untuk mentransmisikan ajaran Buddha yang mendalam. Tujuan berbicara di depan umum adalah untuk mencerahkan, membujuk, bahkan terkadang menghibur penonton. mirip dengan upaya dakwah seorang da’i untuk mengajak manusia berbuat baik dan menahan diri dari berbuat jahat (Aisyah, 2018). Dalam hal ini, penulis mengamati bahwa para pengkhotbah Buddhis muda, para siswa dalam subjek ini memiliki kekurangan berbicara dan karena itu memerlukan pelatihan berbicara. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mengidentifikasi kebutuhan pelatihan public speaking samanera dan Atthasilani Padepokan Dhammadipa Arama Batu.Komunikator yang cakap diperlukan untuk mentransmisikan ajaran Buddha yang mendalam. Studi ini penting karena akan memungkinkan pengkhotbah Buddhis masa depan (Samanera dan Atthasilani) untuk menyampaikan khotbah mereka secure sistematis, metodis, dan terukur, yang bertujuan akhir untuk meningkatkan kemajuan masyarakat Buddhis. Selain itu, mereka diupayakan dapat menjadi penyebar ajaran Buddha profesional yang dapat memberikan khotbah secure berimbang dalam bentuk ceramah kontekstual, atau dalam kombinasi bentuk kontekstual dan tekstual. Mengingat di negara-negara Buddhis di Asia, bentuk ceramahnya masih secure tekstual untuk khotbah mendominasi (Tipitaka).
Selain masalah peningkatan kemampuan teknis, secure umum public speaking memiliki dampak yang signifikan terhadap kepribadian mahasiswa STAB Kertarajasa Atthasilani dan Samanera. Ini karena untuk mengkomunikasikan ajaran mulia Buddha secure efektif, seseorang harus terampil berbicara di depan umum. Mayoritas dari mahasiswa ini dari berbagai daerah yang begum maju di Indonesia. Status mereka sebagai pabajita juga membuat upaya penjangkauan mereka saat masih menjadi siswa dibatasi pada pengaturan vihara (pertapa). Oleh karena itu, pengajaran public speaking penting untuk meningkatkan keterampilan sosial, suatu soft skill yang dibutuhkan di era revolusi industri keempat. Akibatnya, bagaimana gaya komunikasi publik Samanera dan Atthasilani di Padepokan Dhammadipa Arama dibahas dalam penelitian ini? Bagaimana perkembangan pelatihan public speaking Samanera dan Atthasilani di Padepokan Dhammadipa Arama? Apa pengaruh pelatihan public speaking di Padepokan Dhammadipa Arama terhadap Samanera dan Atthasilani?
Bagaimana perkembangan pelatihan public speaking Samanera dan Atthasilani di Padepokan Dhammadipa Arama? Studi terkait telah dilakukan oleh Sayantani dan Narula (2017), penelitian ini menyoroti signifikansi ajaran Buddha sebagai mentalitas dasar yang berhubungan tentang interaksi antarpribadi. Memahami fenomena komunikasi modern sangat terbantu oleh ajaran Buddha. Selain membandingkan model komunikasi Aristoteles dan Buddhis, penelitian ini memaparkan banyak sumber yang membahas tentang pendekatan Buddha dalam komunikasi. Studi ini dan yang satu memiliki tujuan yang sama untuk meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal dari sudut pandang Buddhis. Efek dari perbedaan yang muncul dalam fokus percakapan, karena penelitian ini terutama meneliti gaya komunikasi Buddhis dan tidak membahas instruksi keterampilan komunikasi, khususnya instruksi berbicara di depan umum.Studi oleh Rueyling Chuang dan Guo-Ming Chen pada tahun 20013 dalam artikel “Buddhist Perspectives and Human Communication,” dikatakan bahwa ajaran Buddha memengaruhi praktik komunikasi orang Asia Timur dari sudut pandang budaya. Kajian ini menyoroti inti filosofi Budhist tentang pengembangan persepsi kesehatan mental untuk interaksi interpersonal. Pentingnya agama Buddha sebagai cara hidup berdasarkan sikap positif dan gaya komunikasi juga ditunjukkan oleh penelitian ini. Menurut temuan penelitian tersebut, ajaran agama lain tidak boleh diabaikan meskipun agama Buddha memiliki pengaruh yang signifikan terhadap cara hidup orang Asia Timur. Pembahasan studi ini juga bertujuan untuk menjelaskan interaksi anteromesial yang terstruktur (jelas, berkonsep, dan bermanfaat). Hanya saja penelitian ini lebih luas, bukan fokus pada strategi berbicara di depan publik saja.
Dalam “Meningkatkan Keterampilan Berbicara di Depan Umum Melalui Metode Pelatihan bagi Anggota Forum Komunikasi Pemuda Islam”, Nugrahani dan Larasati (2012) melaporkan penelitian mereka bahwa pelatihan yang ditujukan untuk anggota muda pada Kelompok Pemuda Islam Gayamsari (Foksari) membuahkan temuan penelitian, antara lain peningkatan kemampuan berbicara untuk acara, pidato, dan presentasi.. Penelitian bertujuan untuk mengetahui permasalahan kemampuan berbicara di depan publik para anggota apakha Forum Komunikasi Pemuda Islam. Kajian ini berbeda dari yang lain karena berfokus pada kelompok-kelompok Islam sebagai subjek penelitiannya. Kedua penghargaan dalam penelitian ini dirancang untuk membantu tarekat religius mengembangkan keterampilan berbicara di depan umum.
Siti Aisyah melakukan penelitian serupa dengan judul “Public Speaking and Its Contribution to Dai Competence” (2018). Kajian ini menekankan perlunya kemampuan seorang penceramah (dai) untuk menguasai ilmu serta memberikan konten yang prima ketika melakukan kegiatan penyebaran agama. Pendakwah harus kaya ide, strategi, pendekatan, gaya, dan teknik berbicara di depan publik agar berhasil menyebarkan berita tentang Islam. Keunikan dari penelitian ini adalah subjek penelitiannya terkait dengan institusi atau komunitas Islam. Namun, penelitian ini juga bermaksud untuk membantu pengkhotbah menjadi pembicara publik yang lebih baik.
Kajian lainnya berjudul “Menjadi Public Speaker Handal: Fenomena Public Speaker, Antara Kebutuhan dan Tren” dilakukan oleh Ronny H. Mustamu (2012). Studi ini menekankan perlunya bakat, pengetahuan, seni, dan jiwa seorang pembicara ketika terlibat dalam kegiatan komunikasi. tidak hanya kompeten. Seorang pembicara harus mahir dalam sejumlah metode agar berhasil sebagai pembicara publik. sehingga pendengar dapat memahaminya dan menganggapnya efektif. Perbedaan antara penelitian kami dengan yang ini adalah bahwa fokus kami adalah agama Buddha, tetapi subjek penelitian ini lebih luas. Namun, penelitian ini mencoba untuk meningkatkan public speaking seorang pembicara dengan teknik yang membutuhkan pengetahuan, seni, dan jiwa di samping keterampilan.
Dalam skenario ini, sebagaimana diceritakan oleh Muslimin, Mawwan, dan Aida Farichatul Laila, salah satu isu utama adalah mengatasi kecemasan sosial (2013). Perasaan cemas, gembira, tegang, dan panik disebabkan oleh kecemasan komunikasi (keengganan). Gangguan komunikasi ini tidak disebabkan oleh kurangnya pemahaman; sebaliknya, itu adalah hasil dari ketidakmampuan untuk menyatukan kata-kata dengan cara yang efektif menyampaikan pesan, terlepas dari kenyataan bahwa dalam komunikasi publik, pesan biasanya disiapkan terlebih dahulu. Dari segi kognitif, kecemasan berbicara di depan umum dapat dipahami sebagai munculnya sensasi ketakutan akibat persepsi seseorang terhadap efek komunikasi yang dilakukannya. Dari segi perilaku, demam panggung seperti itu dapat diartikan bahwa secara personal seseorang membatasi komunikasi atau memiliki kecenderungan untuk menghindari kontak intepersonal, terutama tampil di depan umum.
Latar belakang ras dan budaya yang berbeda, keterasingan sosial, introversi, harga diri, dan karakteristik lain semuanya berkontribusi pada hal ini. Karena penutur menguasai sebagian besar tindakan komunikasi, maka tingkat kecemasan dalam komunikasi publik “sangat konsisten dan relatif lama waktunya” (trait communication anxiety). Bahkan seseorang yang tidak merasa sulit berbicara di depan umum mungkin merasa cemas jika audiensnya berbicara dengan menunjukkan kualitas yang membuatnya merasa cemas. misalnya, menyampaikan pidato di hadapan orang tua dan mereka yang dipandang lebih senior dan berkedudukan tinggi (kecemasan komunikasi audiens dan ketakutan komunikasi situasional). Menurut Teori Manajemen Ketidakpastian Kecemasan, tiga elemen kunci yang mempengaruhi tingkat kecemasan adalah motivasi, pengetahuan, dan kemampuan. Untuk meningkatkan pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan dalam komunikasi publik, pelatihan sangat penting.
A. Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dilakukan di Padepokan Dhammadipa Arama Batu-Jawa Timur yang terletak di Jl. Ir. Soekarno No. 311, Batu Malang 65322. Populasi penelitian adalah para Dharmaduta muda (Samanera dan Atthasilani). Lokasi ini dipilih, arena Padepokan Dhammadipa Arama merupakan satu-satunya vihara di Indonesia dengan lebih dari 100 samanera. Selain itu, vihara ini merupakan salah satu vihara yang membesarkan generasi muda Buddhis yang mengabdikan hidupnya untuk memajukan pengajaran Buddhis di masyarakat.
Sumber informasi primer antara lain pimpinan Padepokan Dhammadipa Arama-Batu, para Samanera, Atthasilani, Presidium IPSA Pusat, Penyuluh Buddhis Kemenag RI, Kota Batu, dan umat Buddha di Jawa Timur yang dianggap memiliki pengetahuan tentang Pelatihan Public Speaking Samanera dan Atthasilani.
Selain dilakukan tanya jawab terstruktur melalui wawancara, observasi juga dilakukan untuk mengamati disiplin diri Samanera dan Atthasilanidalam berdakwah saat mengikuti perkuliahan. Peneliti mendokumentasikan setiap sesi pelatihan public speaking dengan mengambil foto pada saat pelatihan maupun di acara-acara yang diadakan di tempat lain, seperti fasilitas Suster- suster Katolik Malang, ataupun ceramah di Vihara-vihara pada tahun 2018 dan 2019. Materi pelatihan public speaking oleh masing-masing instruktur, ide pembuatan pelatihan public speaking, dan penilaian (presentasi kepada peserta diberikan dengan durasi waktu dari 7-8 menit) semuanya termasuk dalam foto kegiatan. kemudian berikan setiap peserta catatan pribadi atau evaluasi dari tutor. Selama ujian akhir dan ketika sertifikat untuk instruksi berbicara di depan umum diberikan, dokumentasi berlanjut.
A. Hasil Dan Pembahasan
1.
Program Samanera dan Atthasilani
Kegiatan dakwah dalam setiap keyakinan beragama sangat penting bagi perkembangan agama tersebut. Salah satu bentuk berdana tertinggi dalam Buddhisme adalah khotbah, atau Dhammadesana. Ceramah atau Dhammadesana merupakan tugas utama bagi seluruh penganut Buddha, terutama bagi para bhikkhu, samanera, dan Atthasilani. Samana dan nera, dua kata dari bahasa Pali, merupakan asal kata samanera. Sementara nera berarti “anak laki-laki” atau “kecil”, samanera menunjukkan “pertapa”. Samanera adalah KBBI (calon biarawan Buddha). Umat Buddha sebelumnya berlatih menjadi samanera sebelum menjadi biksu, dengan kata lain mereka kemungkinan akan menjadi biksu. Penganut ajaran Buddha yang memilih untuk menolak dunia luar dan mengikuti jalan menuju kesucian disebut biksu. Biksu itu mencukur janggutnya, tinggal di biara atau daerah yang damai, dan mengenakan jubah kuning.
Adanya pengukuhan samanera tersebut, sejarahnya dimulai sejak samanera Rahula yang dibimbing langsung di bawah pengawasan pribadi Buddha Gotama berhasil samanera. Samanera Rahula adalah Samanera pertama, sejak saat itu, para pemuda mempraktekkan life skill dengan mengikuti pengukuhan Samanera.
Instruksi untuk pemula diciptakan oleh sepuluh Buddha. Khuddakapatha memiliki sepuluh latihan ini. Selain itu, jika praktik Samanera dilanggar, ada sepuluh kehancuran. Untuk individu yang mengabaikan kelima kriteria tersebut, ada juga pedoman kerja yang baik. Selain itu, ada 75 bab lainnya dari Sekhiyavatta (menjalankan praktik yang benar), yang terbagi menjadi 26 bab tentang perilaku yang benar, 30 bab tentang pola makan, 16 bab untuk penyebaran ajaran, dan 3 bab terkait topik lainnya.
Pasal-pasal ini tidak hanya mengikat para pemula tetapi juga bertindak sebagai norma bagi para bhikkhu dan khotbah Atthasilani. Sehubungan dengan itu, Dakwah harus memuat cita-cita luhur yang selanjutnya dapat melahirkan cita-cita artistik.
Padatahun 2007, Atthasilani Theravada Indonesiamulaimendapat pengakuan publik di Indonesia, khususnya setelah perempuan diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan biarawati dan mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Buddha (STAB) Kertarajasa, Batu, Malang. Atthasilani yaitu perempuan yang memilih untuk menjalani kehidupan suci dan tidak hidup berumah tangga, menjunjung tinggi aturan kemoralan sebanyak delapan sila, serta menggunakan pengetahuan dari Guru Besar Buddha sebagai landasan latihan hariannya.
Peraturan Atthasilani dibuat oleh Sangha Theravada Indonesia setelah dia diangkat menjadi viharawati (pertapa wanita). Prinsip yang dijadikan acuan adalah ini diambil dari teks Tipitaka, kitab agama Buddha. Sosok Atthasilani harus yakin dan tak tergoyahkan pada Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha, atau tiga perlindungan). Karena itu ia harus memperhatikan ajaran Buddha yang telah dijelaskan dan standar sila (moralitas) yang telah ditegakkan oleh Sang Buddha.
Kepala Padepokan Dhammadipa Arama, Bhikkhu Khantidharo Mahathera, memiliki tujuan mendidik penerus berikutnya menjadi juru penerang tentang dhamma melalui program pelatihan untuk pemula, dan atthasilani yang diadakan di sana. Program pelatihan ini dijalani selama empat tahun secura maksimal, sekaligus mereka mendapatkan pendidikan perguruan tingg di STAB Kertarajasa sambil belajar teori dan praktek di Padepokan Dhammadipa Arama. Semua praktik dan seluruh biaya pendidikan tersebut dilakukan secara gratis.
Kelurahan adalah nama umum untuk sistem manajemen yang mengawasi operasi internal Samanera dan Atthasilani. Tanggung jawab lurah adalah merencanakan, mengelola, dan melaksanakan arahan Ketua Padepokan Dhammadipa Arama untuk kemajuan sumber daya manusia dan mendukung konsistensi kinerja Padepokan Dhammadipa Arama. Menyampaikan dhammadesana (ceramah) sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh satker kecamatan merupakan salah satu tugas yang dibebankan kepada samanera dan Atthasilani. Mereka harus menyiapkan ide atau dokumen yang akan disampaikan saat menerima jadwal dakwah. Selain itu, samanera senior yang memiliki kewenangan untuk memberikan kritik dan gagasan sebagai bahan evaluasi akan selalu mengawasi mereka saat berdakwah, bertindak sebagai guru spiritual biksu.
Kegiatan dakwah tersebut merupakan bagian pengabdian yang dilakukan baik untuk keperluan dalam diskusi lintas agama, undangan dakwah secara umum, maupun pelayanan rutin di vihara-vihara. Ketika mereka menerima jadwal khotbah, mereka punya. Setelah mahasiswa menyelesaikan tahap pendidikannya di Padepokan Dhammadipa Arama dan memulai masa pengabdiannya, keterlibatan mereka dalam masyarakat meningkat. Beberapa dari mereka melanjutkan pengabdian mereka setelah satu tahun dengan menjadi biksu, sementara yang lain memilih untuk tetap menjadi samanera. Anak perempuan dapat memutuskan apakah akan menjadi Atthasilani permanen atau Atthasilani biasa. Mereka juga dapat memutuskan untuk kembali ke pelatihan, kembali melayani orang atau perumah tangga, dan mengejar karir mereka. Setelah menyelesaikan pengabdian tersebut mereka dapat memilih untuk bekerja dalam bidang apa saja. Menjalani kehidupan sebagai rohaniawan muda yang memiliki kesempatan empat tahun mengenyam pendidikan tinggi dan satu tahun pengabdian, dapat menjadi modal yang besar untuk masa depan mereka.
1. Program Latihan Komunikasi Publik
Pada saat awal tumbuhnya program ini, tidak semua pendatang baru dan Atthasilani mengetahui peraturan atau cara memberikan ceramah dhamma. Saat itu, Samanera dan Atthasilani hanya menggunakan teknik otodidak. Sebagian juga dari upaya pembinaan yang dilakukan oleh para biksu senior, khususnya biksu yang berdiam di Dhammadipa Arama. Pelatihan berdasarkan transfer pengetahuan dari para sesepuh terus berlanjut dari waktu ke waktu, hingga saat ini sudah mulai banyak publikasi yang dimaksudkan untuk pengkhotbah Buddha. Salah satu buku terkait strategi menjadi Dhammaduta ini yang diterbitkan oleh Bhikkhu Jayamedho. Karya beliau saat ini, menjadi salah satu bacaan yang manjadi acuan untuk melakukan perkuliahan berjudul Panduan Ajaran Buddha Theravada. Meskipun mereka membahas secara mendalam tentang seperti apa seharusnya seorang pengkhotbah Buddhis, teori yang mereka sajikan tidak cukup untuk membahas semua masalah Samanera dan Atthasilani. Pengalaman para biksu, samanera, dan senior Atthasilani pada akhirnya menjadi tolok ukur untuk menyelesaikan segala kesalahan dalam penyampaian pelajaran.
Sekitar tahun 2018, beberapa guru Padepokan Dhammadipa Arama yang merupakan biksu ditugaskan melakukan pelatihan menjadi pembicara di depan publik yang profesional yang resmi diadakan oleh IPSA (Indonesian Professional Speakers Association). Lembaga ini dipimpin oleh Dr. Ponijan Liaw, M.Pd., CPS®, sebagai Presidium IPSA. Beliau adalah Komunikator No. 1 Asia, (Asia Book of Records, New Delhi, India).
Tiga biksu yang telah menyelesaikan sesi pelatihan mentor IPSA, salah satunya adalah seorang peneliti, diberikan izin untuk mengadakan pelajaran berbicara di depan umum. Ketiga biksu ini sudah melakukan Training of Trainer (TOT) sehingga dapat menjadi pembimbing dalam pelatihan tersebut. Mereka juga telah memiliki pengalamannya selama bertahun-tahun sebagai biksu yang berdakwah di berbagai pelosok Indonesia dan ilmunya didapat dari pelatihan public speaking IPSA.
Samanera dan Atthasilani mendapatkan arahan public speaking selamaempathari, sejak tanggal 2 - 5 Juni 2019. Jumlah partisipandalam kegiatan ini sebanyak 10 orang, dengan proporsi 50% Atthasilani dan setengahnya samanera. Dari sepuluh peserta, ditemukan bahwa tiga masih memiliki keterampilan berbicara di depan umum yang buruk setelah empat hari pengajaran. Oleh karena itu, langkah-langkah harus dilakukan untuk tetap mengadaka program public speaking dimasa mendatang. Dari pelaksanaan kajian ini juga ditemukan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan berbicara di depan umum para peserta, terutama mereka yang berasal dari Kabupaten yang belum berkembang.
Komponen pertama adalah terkait dengan motivasi diri. Jika diminta untuk berbicara di depan audiens, seseorang yang belum berlatih berbicara akan berjuang mati-matian. Bahkan, dianjurkan kehati-hatian saat berbicara karena mengandung nama agama. Sebagian besar peserta masih tekstual saat berkhotbah, dan bergantung dengan alat bantu notes yang sudah disiapkan. Samanera dan Atthasilani terkadang ragu untuk belajar dan terus percaya bahwa pelatihan berbicara di depan umum tidak diperlukan. Ketika Samanera dan Atthasilani ditugaskan untuk memberikan ceramah di daerah, hal ini akan menjadi tantangan tersendiri. Berdakwah akan sulit bagi mereka.
Faktor berikutnya yaitu ketidakpercayaan diri. Kebiasaan berbicara di depan umum tidak biasa dilakukan oleh para peserta ini di daerah asalnya. Asal daerah mereka yang belum berkembang juga menjadikan tingkat kepercayaan diri mereka rendah. Mereka juga selalu berpikir mereka adalah orang kampung. Rasa rendah diri mereka itu sendiri yang pada akhirnya membatasi diri mereka untuk lebih berkembang dalam penyampaian kotbah-kotbah. Dari pengamatan yang dilakukan, para peserta mengalami kekhawatiran, ketakutan, ketidakpercaya dirian dalam berkhotbah di depan umum. Dalam hal ini, peran para bhikkhu, para senior dan teman seangkatannya sangat diperlukan untuk memotivasi dan membantu menumbuhkan rasa agar rasa percaya diri mereka. Dalam kanjian yang dikemukakan Latifah, Ary Budiyanto, dan Metta Puspita (2016, 263), benar bahwa tingkat motivasi dan kepercayaan diri Samanera dan Atthasilani ini dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan asal daerah. Untuk menumbuhkan rasa percaya diri ini, tidak cukup memberikan kesempatan mereka menempuh penidikan tinggi secara gratis saja, tetapi juga dorongan yang penuh untuk menjadi penyebar dhamma yang dapat mewarisi spirit perjuangan sang Buddha. Upaya dari organisasi yang sungguh-sungguh, upaya pelibatan dalam kegiatan di dalam dan luar vihara, dan penguatan dari teman sebaya dan senior perlu dikuatkan untuk meningkatkan upaya ini pada mereka..Masalah lainnya adalah penjadwalan kegiatan latihan berkotbah yang tidak terstruktur. Perlu dicatat bahwa ada lebih dari 110 Samanera dan Atthasilani pada awal tahun 2019. Untuk berlatih berdakwah, mereka harus mengantre dalam satu ruangan. Samanera dan Atthasilani sebenarnya membutuhkan banyak pengalaman agar bisa banyak belajar dan mendapatkan banyak informasi. Perbedaan waktu terbang antara Samanera dan Atthasilani adalah masalah terakhir dengan ini. Karena Samanera sering menerima tugas dari luar, pengalaman mereka sangat tidak seimbang. Menurut penjelasan terkait tipe kecemasan saat berkomunikasi oleh McCroskey dan Beatty (1984), ketidaknyamanan internal diwujudkan melalui kepanikan, penghinaan, ketegangan, atau kemarahan. Hal tersebut kemudian berefek pada performa berbicara di depan umum.
Kegiatan praktik sebagai speaker dilakukan sesuai dengan standar IPSA yang terdiri dari membuat konsep, melakukan presentasi, melakukan olah vokal, sikap yang sesuai, dan menjaga penampilan. Selain itu, teknik 3T disebutkan dalam pelatihan ini (terorganisir, terstruktur dan terukur). Menurut pengamatan, terbukti bahwa perubahan mulai terjadi secure bertahap ketika masing-masing proses ini dijalankan. Penyesuaian yang dilakukan sejalan dengan apa yang dikatakan Ranta (2018) terkait empat teknik berbicara di depan umum. Para peserta yang sebelum pelatihan masih kaku dan menggunakan teknik mengingat, mereka menjadi lebih terstruktur serta memberikan penjelasan berdasarkan data. Namun perubahan yang terjadi disini hanya dari hafalan menjadi lebih dilakukan dengan persiapan.
Lebih lanjut, meski ada peserta yang hanya kurang dari setahun menjadi Samanera dan Atthasilani, mahasiswa semester dua (T.A 2018/2019), tetapi sudah sangat percaya diri dan kompeten. Mereka menjadi kurang rendah diri, yang meningkatkan stabilitas berbicara di depan umum. Dalam pengertian ini, fakta ini sesuai dengan penelitian Rakhmat pada tahun 2005, yang menemukan bahwa orang akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan gagasannya kepada orang lain dan menghindari berbicara di depan umum apabila memiliki rasa rendah diri. Mereka khawatir orang lain akan mengkritiknya.
Seiring dengan peningkatan kemampuan mereka untuk memenuhi permintaan materi, Samanera dan Atthasilani keduanya mengalami peningkatan dalam kesiapan mental mereka, membuat mereka lebih percaya diri dalam merespon pertanyaan-pertanyaan. Sesuai dengan studi lain terkait pedoman pelatihan, Dessler dalam Agusta (2013: 1), prosedur untuk mengajarkan kemampuan dasar yang diperlukan untuk melakukan kegiatan sangat diperlukan. Mangkuprawira (2004:135) lebih lanjut menegaskan bahwa diklat bertujuan utama untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan seseorang untuk melaksanakan kewajibannya sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian, jika Anda lebih berkonsentrasi pada kegiatan perkuliahan langsung, Anda akan merasakan dampaknya pada kemampuan Anda untuk menjaga kontrol, menghubungkan teks untuk menjawab permasalahan umat, tidak nervous, berceramah dengan lancar, dan tidak terjadi kesalahan pengucapan istilah selain meningkatkan dari segi bahasa. Ketangkasan dapat terlihat pada penggunaan kosakata yang bervariasi agar tidak kaku dan repetitif. Akibatnya, ketika Samanera dan Atthasilani dikirim ke daerah terpencil yang mayoritas umat masih menggunakan bahasa daerah, tetap dapat berceramah lugas dan relevan. Ada sejumlah perkembangan dalam komunikasi dua arah (sosial) yang melampaui apa yang diharapkan oleh para peneliti awal. Harapan awal peneliti hanya sebatas bagaimana membuat Samanera dan Atthasilani menjadi dosen yang lebih baik. Namun, pola komunikasi percakapan Samanera-Atthasilani, pembekalan, dan bahkan kemampuan untuk berbicara dengan orang-orang dari berbagai tingkatan, mengembangkan ekspektasi saat mereka berkembang. -berbeda. Harapan dari penelitian ini juga sejalan dengan karya Rueyling Chuang dan Guo Ming dari tahun 2003, yang mengkaji fungsi agama Buddha sebagai cara hidup berdasarkan sikap positif dan teknik komunikasi serta agama. Di luar prediksi para peneliti awal, telah terjadi sejumlah terobosan dalam komunikasi dua arah (sosial). Harapan peneliti pada awalnya hanya sebatas bagaimana meningkatkan keterampilan berceramah Samanera dan Atthasilani. Namun, seiring perkembangannya, tumbuh harapan untuk memperbaiki pola komunikasi dua arah, seperti diskusi, tanya jawab, dan termasuk meningkatkan kapasitas saat berinteraksi dengan berbagai karakter dan tingkat pendidikan. Harapan dari penelitian ini juga sejalan dengan karya Rueyling Chuang dan Guo Ming dari tahun 2003, yang mengkaji fungsi Buddhisme, selain agama buddhisme juga cara hidup dari sikap yang konstruktif serta perilaku interpersonal.
Selain itu, para pelatih Buddhis secure khusus menyambut baik keterlibatan Samanera Atthasilani dalam pelaksanaan program ini. Menurut tokoh masyarakat Buddhis, secure umum masyarakat dapat memahami informasi yang disampaikan oleh Samanera dan Atthasilani. Kunjungan Samanera dan Atthasilani ke Njeding selain dapat memberikan kontribusi dalam perluasan ilmu agama Buddha juga dapatmembangkitkansemangatumatBuddha setempat. Semangat para penganut ajaran Buddha untuk melakukan peribadahan akan berkorelasi langsung dengan kemampuan Samanera dan Atthasilani dalam menyampaikan ceramah.
A. Kesimpulan dan Saran
Umat Buddha dapat menemukan kedamaian dan pencerahan melalui ceramah saat mereka berjuang untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Karena upaya untuk mengirimkan informasi antara instruktur dan pelajar, pemimpin agama (biksu, samanera, dan Atthasilani) dan rakyat jelata melalui ceramah, agama Buddha dapat tumbuh dan mengakar di berbagai tempat. Ajaran Buddha benar-benar telah mengembangkan hukum yang mendorong pengajaran yang efektif sejak 2500 tahun yang lalu.
Namun kemampuan berbicara di depan publik para Samanera dan Atthasilani di Padepokan Dhammadipa Arama Batu masih lemah dan tidak sesuai dengan pendekatan 3T (terorganisir, terstruktur, dan terukur) pada saat pementasan. Karena jarang diadakannya program latihan yang intens, metode dakwah juga tidak seragam. Plus, beberapa kriteria individu masih kurang baik. Jadwal pengajian, yang tidak efektif dalam meningkatkan bakat karena populasi Samanera dan Atthasilani yang cukup besar di Padepokan Dhammadipa Arama Batu, adalah salah satu dari sejumlah penyebab tambahan yang melemahkan. Masalah lainnya adalah kegiatan pelatihan ini hanya dilakukan satu kali dan tidak berjenjang ataupun dalam kurun waktu yang lama durasi pelatihannya, sehingga secara pengetahuan yang diterima peserta masih sangat minim.
Pasca pelatihan, hasil pelatihan tidak hanya tampak pada komunikasi satu arah atau ceramah, tetapi perkembangan komunikasi juga tampak pada seni berkomunikasi dua arah di lingkungan yang lebih luas. Perkembangan ini tentunya tidak hanya dirsakan oleh peserta saja, tetapi juga penerima dampak yaitu para umat yang menerima ceramah dari para peserta secara langsung. Atthasilani dan Samanera telah mampu membabarkan Dhamma yang dapat menjawab permasalahan langsung para audiens, dengan bahasa yang mudah dipahami, serta menyesuaikan dengan tipikal masyarakat kedaerahan. Penyajian dhamma secara kontekstual ini kedepan bisa menjadi tipe ceramah buddhist yang baru di Indonesia. Hal ini yang akan membedakan karakter dengan tipe ceramah Dhamma di negara-negara Buddhis seperti Thailand, Myanmar dan Sri Lanka yang bersifat tekstual..
Temuan investigasi ini membuat para akademisi membuat sejumlah rekomendasi. Ketua Padepokan Dhammadipa Arama Batu terlebih dahulu harus memberikan pendampingan dalam merealisasikan kurikulum pelatihan public speaking para mentor IPSA. Kedua, Pembimbing IPSA harus selalu terlibat dalam memberikan pengajaran public speaking dan mendampingi siswa untuk tumbuh sebagai individu, khususnya Samanera dan Atthasilani yang berkuliah di Padepokan Dhammadipa Arama, Batu. Ketiga, dengan mengubah komponen metodologi penelitian, seperti menggunakan teknik baru, demografi, atau metode yang lain, kajian- kajian yang dapat dilakukan kedepannya dapat mempertimbangkan terkait pelatihan publik speaking yang efektif. Temuan penelitian ini juga dapat digunakan untuk menilai validitas penelitian yang dilakukan.
Referensi
Agusta, L. 2013. “Pengaruh Pelatihan dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan CV Haragon Surabaya”. Agora, 1(3).
Aisyah, Siti. 2018. “Public Speaking dan Konstribusinya Terhadap Kompetensi Dai”.
Jurnal Ilmu Dakwah, 37(2)..
Chuang, R., & Chen, G. M. 2003. Buddhist Perspectives and Human Communication. Jayamedho (Ed.). (2012). Pedoman Khotbah Agama Buddha Theravada. Batu:
Padepokan Dhammadipa Arama.
Latifah, Ary Budiyanto, dan Metta Puspita. 2016. Tantangan Global dan Tanggung Jawab Keadilan Sosial. Jakarta: The Indonesia Social Justice Network (ISJN).
Mangkuprawira, T B Sjafri. 2004. Sumber Daya Manusia Strategik. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Muslimin, Khorul, Maswan, dan Laila, Aida Farichatul. 2013. Mengatasi Cemas dalam Berkomunikasi di Depan Publik. Yogyakarta: Lingkar Media.
James C. McCroskey & Michael J. Beatty. 1984. Communication Apprehension and Accumulated Communication State Anxiety Experiences: A research note, Communication Monographs, 51:1, 79-84, DOI: 10.1080/03637758409390185
Nugrahani, D., Kustantinah, I., & Larasati, I. K. I. P. 2012. “Peningkatan Kemampuan Public Speaking melalui Metode Pelatihan Anggota Forum Komunikasi Remaja Islam”. E-Dimas: Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat, 3(1).
Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remadja Karya.
Roy, Sayantani dan Sumit Narula. 2017. “Alternative Views on the Theory of Communication: An Exploration through the Strands of Buddhism”. Journal of Mass Communication & Journalism, DOI: 10.4172/2165- 7912.10003
Ronny, H Mustamu. 2012. Menjadi Pembicara Public Andal: Fenomena Public Speaker, Antara Kebutuhan dan Tren” (2012). Jurnal Komunikasi Islam, ISBN 2088-6314, 2(2).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar